Wednesday, December 20, 2006

PENATALAYANAN KEUANGAN GKPS

Pendahuluan

Tahun 1976, GKPS menerbitkan Peraturan Penatalayanan Keuangan GKPS (Ketetapan Synode Bolon GKPS No. II Tahun 1976). Peraturan ini merupakan pengaturan lebih lanjut perihal harta kekayaan yang disebut dalam Tata Gereja GKPS yang baru, berlaku mulai 1 Januari 1975.

Yang dimaksud dengan penatalayanan keuangan gereja, yakni semua kegiatan untuk memperoleh, mengumpulkan, menggunakan serta mengelola keuangan gereja.

Dengan diterbitkannya Peraturan Penatalayanan Keuangan ini, GKPS bermaksud mengakhiri penatalayanan keuangan yang semata-mata didasarkan kepada tradisi yang berkembang dari waktu ke waktu. Sekaligus diharapkan adanya acuan dasar penatalayanan keuangan gereja untuk masa-masa berikutnya.

Tulisan ini mencoba melihat kembali keadaan yang melatar-belakangi lahirnya peraturan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan melihat perkembangan penerapannya, maupun kendala-kendalan yang dihadapi di kemudian hari.


Latar Belakang Penatalayanan Keuangan GKPS

Penginjilan di Simalungun dimulai sejak 2 September 1903 oleh Badan Zending dari Jerman, sebagai bagian penginjilan di Batak yang dirintis 40 tahun sebelumnya.

Setelah sejumlah Jemaat berdiri di kalangan masyarakat Simalungun, timbul keinginan agar Penginjilan (dan pendidikan di sekolah-sekolah) dilakukan dalam bahasa Simalungun serta dengan memperhatikan perbedaan budaya suku Simalungun dengan budaya Batak Toba. Setelah keinginan tadi terpenuhi sejak tahun 1930-an, pada tahun 1940 HKBP yang berpusat di Pearaja, Tarutung, menjadikan Jemaat-Jemaat yang berbahasa Simalungun menjadi satu wilayah (distrik) pelayanan, dengan nama Distrik Simalungun di dalam HKBP.

Pada tahun 1952 Jemaat-Jemaat di Distrik Simalungun menyatakan berdiri sendiri sebagai gereja, terpisah dari HKBP. Namanya HKBP Simalungun (HKBPS).

Melalui serangkaian musyawarah antara HKBP dengan HKBPS, akhirnya HKBP mengakui ‘panjaeon’ (pemisahan) tersebut pada tahun 1963. Sejak saat itulah Jemaat-jemaat di Simalungun menamakan dirinya GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN (GKPS).

Perkembangan tersebut menumbuhkan tradisi penatalayanan keuangan gereja. Ada tradisi yang diwarisi dari HKBP, ada tradisi yang dikembangkan sendiri oleh Jemaat-Jemaat di Simalungun.

Salah satu tradisi yang diwarisi dari HKBP adalah sistem sentralisasi dalam pengelolaan keuangan gereja. Tampaknya sistem ini merupakan konsekwensi dari pandangan yang menganggap bahwa Jemaat adalah objek pelayanan penginjilan (zending). Pengangkatan Pelayan yang memegang jabatan pelayanan utama (seperti Pendeta dan Guru / Vorhanger) dilakukan oleh ‘Pucuk Pimpinan’ Gereja. Pembiayaannya juga menjadi tanggung jawab ‘Pusat’ (antara lain dalam bentuk gaji & penghasilan lainnya, ongkos jalan, dll.). Bahkan, pengelolaan uang di Jemaat (penerimaan dan pengeluaran) dipertanggungjawabkan ke ‘Pusat’ (melalui Pendeta dan atau Vorhanger). Jemaat kurang mendapat penggembalaan tentang tanggung jawabnya memberikan nafkah kepada para pelayan penuh waktu (full-time) seperti Pendeta, Penginjil/Guru.

Sementara itu, Jemaat-Jemaat di Simalungun juga mengembangkan tradisi sendiri. Selain penyesuaian istilah yang lebih sesuai dengan cita rasa suku Simalungun (seperti pemakaian istilah ‘galangan’ untuk persembahan pada setiap kebaktian; tumpak, dan siluah, baik dalam bentuk uang atau barang. Juga dikembangkan bentuk-bentuk pengelolaan keuangan (seperti tata cara menyetorkan uang perolehan dari Jemaat ke Pendeta Resort dan dari Pendeta Resort ke Pimpinan Pusat).

Dalam rangka menyesuaikan diri dengan keadaan (yang memaksa), beberapa tradisi yang bersifat mengembangkan swadaya Jemaat juga ditimbulkan. (Contoh: Biaya hidup Guru di Kuria Pangambatan ditanggulangi oleh Jemaat dengan cara mengumpulkan tuppak padi/beras, karena kiriman dari ‘Pusat’ tidak kunjung datang; biaya hidup mahasiswa Sekolah Pendeta di Pematang Raya ditanggulangi dengan tumpak boras warga Jemaat).

Dengan bertambahnya tenaga Pendeta di GKPS, semakin dirasakan betapa sulitnya melaksanakan penatalayanan keuangan gereja yang semata-mata berlandaskan tradisi tersebut. Terutama karena para Pendeta yang baru tersebut berasal dari berbagai Perguruan Theologia, sehingga membutuhkan waktu untuk memahami tradisi tersebut. Di lain pihak semakin dibutuhkan pengembangan penatalayanan keuangan gereja yang lebih memandirikan Jemaat-Jemaat, termasuk di dalamnya tanggung jawab Jemaat mendukung pembiayaan yang bersifat setralisasi se-GKPS.

Keadaan dan harapan tersebut menimbulkan kesadaran akan perlunya peraturan tertulis tentang penatalayanan keuangan gereja di GKPS. Pengaturan (tertulis) dimaksud mendapat prioritas setelah Tata Gereja GKPS dibaharui pada tahun 1975.

Dalam Tata Gereja sudah diletapkan dasar penatalayanan keuangan, yakni: walaupun semua harta kekayaan yang ada adalah satu kesatuan milik kepunyaan GKPS, namun masing-masing kepengurusan (Pimpinan Pusat, Pengurus Resort, Majelis Jemaat, Pengurus Seksi/Badan) mempunyai hak kepengurusan atas harta kekayaan yang ada dalam penguasaannya.

Dalam Peraturan Penatalayanan Keuangan GKPS (Tahun 1976) ditetapkan dasar-dasar pengembangan penatalayanan keuangan gereja.

Dengan adanya Peraturan Penatalayanan Keuangan dimaksud, penatalayanan berdasarkan tradisi telah tertampung di dalamnya sepanjang masih dibutuhkan, sekaligus membuka kemungkinan mengubahnya dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan.

Sudah menjadi tradisi bahwa penerimaan di Jemaat peruntukan Keuangan Umum (yang dikelola oleh PImpinan Pusat), antara lain: Gugu Tahun (Persembahan Tahunan), Galangan I (persembahan kantong kolekte ke-1), Galangan & Banggal ni Uhur Zending (Persembahan untuk Sending), Idop ni uhur (Persembahan Pengasihan), dll. Karena itu, diadakan ketentuan agar “yang mempunyai tujuan tertentu harus digunakan untuk tujuannya” , yang berarti harus disampaikan oleh Jemaat ke Pimpinan Pusat.

Ketentuan yang berasal dari tradisi tersebut dapat disesuaikan dengan perkembangan karena ada juga ketentuan yang menyatakan “pengaturan bentuk-bentuk, jenis-jenis, dan bagian-bagian keuangan yang diperuntukkan bagi (masing-masing) kepengurusan, ditetapkan oleh Synode Bolon GKPS’. Karena itu dimungkinkan, seandainya sudah tiba saatnya, mengubah peruntukan tersebut, misalnya dengan menentukan besaran (nilai nominal atau persentase) perolehan dari Jemaat untuk Keuangan Umum GKPS. Atau misalnya mengalihkan tanggung jawab memberi nafkah (dan biaya lainnya) Pendeta dan Penginjil kepada Jemaat (atau gabungan beberapa Jemaat), sehingga Jemaat-Jemaat terdorong meningkatkan menjadi Jemaat yang mandiri, bukan lagi sebagai objek penginjilan seperti tempo doeloe.

.
Dasar-dasar penatalayanan keuangan GKPS

Melalui Peraturan Penatalayanan Keuangan GKPS ditetapkan dasar-dasar penatalayanan keuangan di GKPS, antara lain:


1. Penatalayanan keuangan adalan pencerminan keagungan dan kesucian gereja serta merupakan pengakuan akan kasih karunia Tuhan kepada gereja-Nya.


2. Penatalayanan keuangan didasarkan pada prinsip egalitarisme, prinsip berdikari, prinsip efisiensi, prinsip kontinuitas.


3. Semua uang yang ada, baik di Jemaat, Resort, Distrik dan Pusat, maupun yang ada pada Seksi-Seksi serta Badan-Badan adalah satu kesatuan milik GKPS, dan merupakan berkat pemberian Tuhan, serta milik Tuhan adanya.


4. Keuangan GKPS diperoleh dari:


a. persembahan anggota


b. sumbangan dan bantuan yang tidak mengikat


c. hasil penyelenggaraan usaha gereja


d. perolehan lainnya yang sah dan tidak bertentangan dengan aturan gereja


5. Keuangan GKPS hanya digunakan dalam rangka mewujudkan panggilan dan suruhan gereja, berlandaskan tanggung jawab kepada Tuhan dan kepada warga gereja.


6. Persembahan, sumbangan, dan bantuan yang mempunyai tujuan tertentu harus digunakan untuk tujuannya.


7. Setiap tingkat kepengurusan (Majelis Jemaat, Pengurus Resort, Praeses, Pimpinan Pusat, Pengurus Seksi/Badan) mempunyai hak pengurusan atas keuangan yang ada dalam penguasaannya, dan mempunyai hak dan wewenang mengeluarkan uang GKPS yang diperuntukkan bagi kepengurusannya masing-masing.


8. Setiap tingkat kepengurusan wajib menetapkan Anggaran Tahunannya, dan setiap pengeluaran haruslah berpedoman kepada Anggaran Tahunan tersebut.


9. Pengelolaan keuangan (membukukan, menyimpan, melakukan pembayaran, menyimpan tanda bukti pembayaran, dan mempertanggungjawabkan) menjadi tugas dan tanggung jawab Bendahara di masing-masing kepengurusan, sesuai dengan sistem pembukuan yang modelnya ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.


10. Pengawasan Umum dilaksanakan oleh Majelis Gereja.


11. Pengawasan internal dilakukan oleh Pimpinan Pusat kepada Pengurus Resort, Pengurus Resort kepada Majelis Jemaat.



Pelaksanaan Peraturan Penatalayan Keuangan GKPS

Segera setelah Peraturan Penatalayanan ditetapkan, Majelis Gereja GKPS selaku pelaksana pengawasan umum keuangan GKPS (yakni selaku pengawasan ekstern) segera melaksanakan fungsi pengawsannya.

Khusus untuk Keuangan Umum GKPS, suatu saat Majelis Gereja membentuk Tim Pemeriksa Keuangan yang anggotanya terdiri dari Anggota GKPS yang mempunyai keahlian di bidang pemeriksaan keuangan. (Dua di antaranya adalah pegawai BPK Republik Indonesia).

Hasil pemeriksaannya menyadarkan Pimpinan Pusat dan Majelis Gereja. Rupanya GKPS selama ini tidak mempunyai sistem pembukuan tertentu sehingga Tim Pemeriksa mengalami kesulitan, untuk melaksanakan tugasnya.

Hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan Majelis Gereja terhadap pengelolaan keuangan gereja oleh Pengurus Resort, juga menemukan fakta yang sama. Dan ternyata banyak Bendahara yang tidak difungsikan. Yang berarti keuangan langsung dikelola oleh Pendeta Resort sebagaimana tradisi sebelum adanya Peraturan Penatalayanan Keuangan GKPS. Penyetorannya secara berjenjang dari Jemaat ke Resort, dan dari Resort ke Pimpinan Pusat, juga tidak dilakukan secara tertib sekali sebulan. Sistem pembukuannya juga tidak seragam. Bahkan banyak di antaranya yang menjadikan Bulung Sitor (lembaran formulir penyetoran uang) sebagai satu-satunya ‘pembukuan’, sehingga sukar mengetahui keadaan keuangan dari hari ke hari.

Temuan-temuan tersebut mendorong GKPS meningkatkan pelayanannya di bidang penatalayanan keuangan, khususnya menyangkut pengelolaan (yakni membukukan, menyimpan, melakukan pembayaran, menyimpan tanda bukti, dan mempertanggungjawabkan) keuangan gereja.

Di tingkat kepengurusan Pusat, segera dilakukan pembenahan antara lain dengan mengangkat pegawai yang mempunyai latar belakang pendidikan di bidang administrasi keuangan. Di tingkat kepengurusan Resort, digiatkan pemeriksaan intern (oleh petugas dari Pimpinan Pusat ke Pengurus Resort) dan pemeriksaan ekstern (oleh Majelis Gereja).

Mengingat salah satu kendala adalah tidak adanya keseragaman pengelolaan keuangan, maka walaupun agak terlambat, akhirnya pada tahun 1982, dengan persetujuan Majelis Gereja, Pimpinan Pusat menetapkan keseragaman pembukuan, lengkap dengan model-model pembukuannya maupun bulung sitor-nya. Model pembukuan yang baru tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga sistem itu sendiri dapat mengontrol pengelola, dan memudahkan pengawasan. Bahkan dengan model yang baru tersebut, Pimpinan Pusat sebenarnya dapat melihat seluruh keuangan yang beredar di GKPS, sehingga dapat melihat secara jelas potensi Jemaat-Jemaatnya, yang pada gilirannya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengusulkan sistem yang lebih memandirikan Jemaat (atau beberapa Jemaat yang tergabung dalam Resort) dalam arti mengurangi beban ‘Pusat’ yang cukup berat akibat sistem sentralistis yang diwarisinya sejak zaman ‘Zending’ tempo doeloe).

Berbagai upaya pembaharuan di bidang penatalayanan tersebut jelas membuahkan ketertiban. Pada gilirannya, ketertiban menumbuhkan kepercayaan, dan kepercayaan yang semakin meningkat pada gilirannya menghilangkan penghalang untuk meningkatkan persembahan warga Jemaat kepada Gereja.

Keadaan keuangan umum GKPS periode 1980-an menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hal itu tentunya tidak lepas dari pembaharuan penatalayanan yang diadakan sercara terus-menerus sejak tahun 1975.

Seperti sudah dikemukakan tadi, walaupun Peraturan Penatalayan Keuangan sudah diterbitkan tahun 1976, penyeragaman pembukuan yang diperintahkan oleh Peraturan Penatalayanan baru dibuat tahun 1982 (dan implementasinya dalam bentuk Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Keuangan Umum GKPS baru terlihat pada tahun 1984).

Dari kelambanan implementasi tersebut, ternyatalah bahwa untuk menerapkan penatalayanan keuangan gereja dibutuhkan tenaga penuh waktu yang terdidik untuk bidang tugas tersebut. Pengangkatan tenaga penuh waktu dari non-Pendeta untuk mengisi kebutuhan dimaksud masih belum memungkinkan karena penambahan Pendeta (dan Penginjil) masih diprioritaskan, sementara para lulusan Perguruan Theologia kurang dibekali pengetahuan tentang penatalayanan keuangan gereja. Jelaslah bahwa hal itu merupakan salah satu kendala menerapkan peraturan penatalayanan keuangan gereja.

Kendala lainnya berupa keengganan Bendahara Resort mengambil alih pengelolaan keuangan dari tangan pengelola keuangan menurut tradisi lama, yakni Pendeta Resort. Keengganan ini antara lain disebabkan adanya tradisi yang memberikan kewenangan kepada Pendeta Resort untuk langsung memperhitungkan pembayaran gajinya dari uang peruntukan Keuangan Umum yang akan dikirim ke Kantor Pusat GKPS. Terutama di Resort yang penerimaan dari Jemaat-Jemaat belum mencukupi untuk membayar gaji Pendeta (dan Penginjil) di Resort tersebut, menjadi penyebab tidak difungsikannya Bendahara di Pengurus Resort.

Pengawasan yang berkesinambungan juga terkendala karena membutuhkan tenaga yang trampil melakukan pemeriksaan, setidak-tidaknya sekali setahun. Selain itu, masih terdapat keengganan menerapkan sanksi (berupa teguran tertulis dengan kewajiban memperbaiki kesalahan, schorsing untuk waktu tertentu, diberhentikan dengan hormat dengan kewajiban mengganti kerugian, atau dituntut di Pengadilan) sebagaimana dicantumkan dalam Peraturan Penatalayanan Keuangan GKPS.


Penutup

Dengan diberlakukannya Peraturan Penatalayanan Keuangan GKPS dalam bentuk tertulis sejak tahun 1976, terutama setelah ditetapkannya sistem pengelolaan keuangan yang seragam, setidaknya lebih memudahkan menyeragamkan pemahaman Pelayan-Pelayan GKPS tentang penatalayanan keuangan gereja, dibandingkan dengan masa sebelumnya yang semata-mata berlandaskan tradisi.

Berdasarkan ketentuan penatalayanan yang sudah tertulis, disertai dengan telah adanya sistem pengelolaan keuangan yang seragam, memudahkan pelaksanaan pengawasan atas keuangan gereja.

Jika pemberlakuan Peraturan Penatalayan Keuangan Gereja dianggap sebagai peningkatan kemajuan, maka seharusnya dianggap sebagai kemunduran, jika penatalayanan keuangan gereja dikembalikan berlandaskan tradisi semata.

Dalam melaksanakan ketentuan penatalayanan keuangan gereja yang sudah disepakati bersama, ternyata dibutuhkan tenaga yang trampil di bidang penatalayan, termasuk di dalamnya tenaga yang trampil melaksanakan pengawasan. Karena itu, dalam pembinaan (dan penggembalaan) kepada para Pelayan GKPS (Pendeta, Penginjil, Sintua, Syamas), perlu dimasukkan pengetahuan tentang penatalayanan keuangan gereja, termasuk pentingnya peranan pengelolaan keuangan dan pengawasannya.